
“Makanya, dengan
sistem zona ini kan ketahuan masalahnya. Ini yang kita
harapkan, kabupaten/kota melihat masalahnya,” kata Supriano di kantor
Kemendikbud, Senin (12/8).
Pernyataan tersebut
menanggapi adanya sejumlah guru honorer di Sekolah Induk Filial, SDN 8 Curah
Tatal, Arjasa, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, yang terpaksa keluar dari
sekolah lantaran minimnya gaji yang diterima. Terkait hal itu, kekurangan guru
ini nantinya akan dikonfirmasi lagi agar distribusi guru berjalan secara
merata.
Siswa-siswi di Sekolah Induk
Filial, SDN 8 Curah Tatal, Arjasa, Kabupaten Situbondo, terpaksa harus belajar
sendiri. Sembilan guru tidak tetap (GTT) yang biasa mengajar keluar sejak
beberapa bulan lalu. Dengan ketersediaan empat guru yang ada, mereka terkadang
hanya bisa melakukan satu kali kegiatan belajar dalam sepekan.
Forum Guru & Tenaga
Honorer Swasta Indonesia (FGTHSI) menyebut kasus ini tak hanya terjadi di
Kabupaten Situbondo. Kasus serupa dan kisah sedihnya juga terjadi di hampir
setiap daerah, utamanya di daerah terpencil.
Ketua Tim Investigasi
Pengurus Pusat FGTHSI Riyanto Agung Subekti mengatakan, kasus di Situbondo
merupakan segelintir masalah yang diungkap media. “Kisah sedih mereka terjadi
di hampir setiap daerah Indonesia, mereka (guru honorer) mengalami nasib yang
sama,” ujar Riyanto.
Menurut Supriano, saat ini
Kemendikbud sedang saling mengonfirmasi dengan daerah soal kebutuhan guru.
Kemendikbud sudah duduk bersama dengan pemerintah daerah beserta Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB),
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN)
terkait kebutuhan guru.
Konfirmasi ini perlu
dilakukan sebelum kebijakan rotasi guru berjalan. “Mereka (pemda) punya usulan,
kita punya hitungan kebutuhan. Nanti kita gabungkan,” kata Supriano.
Dia mengatakan, Kemendikbud
dan kementerian/lembaga terkait sedang menyiapkan satu data yang nantinya
digunakan untuk rotasi guru. Menurut dia, saat ini terlihat sekolah mana yang
membutuhkan guru dan yang kelebihan guru. Selain itu, dapat terlihat juga
sekolah mana yang memiliki siswa terlalu sedikit sehingga memungkinkan untuk
digabungkan dengan sekolah lain.
Ia menjelaskan, saat ini
sebenarnya guru di Indonesia sudah mencukupi dengan rasio 1:17 atau satu guru
mengajar 17 siswa. Namun, yang menjadi masalah, kata dia, adalah
pendistribusiannya yang tidak merata.
Supriano mengatakan, dengan
diterapkannya sistem zonasi, akan terlihat mengapa terjadi kekurangan guru di
daerah tertentu, tetapi di daerah lain kelebihan guru. “Ya, bisa saja kalau
memang sekolah itu siswanya sedikit, gurunya tidak ada, kan bisa dimerger ke sekolah lain,” kata
Supriano.
Menurut dia, sistem zonasi
ini dapat memiliki dampak yang luar biasa. Namun, tentu saja dampaknya tidak
akan terlihat dalam waktu yang cepat. Butuh waktu untuk benar-benar melihat
hasil dari kebijakan yang mulai masif diterapkan tahun ini tersebut.
Saat ini, tahapan persiapan
kebijakan rotasi guru baru sampai pada persiapan Surat Keputusan bersama (SKB)
antara kementerian/lembaga yang terkait dalam proses distribusi guru.
Kementerian/lembaga yang bertugas selain Kemendikbud, yakni Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB),
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Kendati demikian, Supriano
masih enggan menjawab kapan SKB tersebut akan diselesaikan. “SKB-nya lagi
proses, butuh berapa kali pertemuan,” ujar dia. n inas widyanuratikah, ed: mas
alamil hudaasalah pendidikan yang sebelumnya tidak terlihat.
sumber : https://republika.co.id
0 Comments